Wednesday, March 5, 2014

Kisah Cinta Salman Al-Farisi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa

Sebuah kisah cinta menarik tercatat dalam sejarah hidup seorang shahabat Rasulullah, Salman Al-Farisi. Ia merupakan seorang mantan budak dari Isfahan Persia. Kisah cinta Salman terjadi saat ia tinggal di Madinah setelah menjadi muslim dan menjadi salah satu sahabat dekat Rasulullah.

Pada suatu waktu, Salman berkeinginan untuk menggenapkan dien dengan menikah. Selama ini, ia juga diam-diam menyukai seorang wanita salehah dari kalangan Anshar. Namun ia tak berani melamarnya. Sebagai seorang imigran, ia merasa asing dengan tempat tinggalnya, Madinah.

Bagaimana adat melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah? Bagaimana tradisi Anshar saat mengkhitbah wanita? Demikian yang dipikirkan Salman. Ia tak tahu menahu mengenai budaya Arab. Tentu saja tak bisa sembarangan tiba-tiba datang mengkhitbah wanita tanpa persiapan matang.

Salman pun kemudian mendatangi seorang sahabatnya yang merupakan penduduk asli Madinah, Abu Darda’. Ia bermaksud meminta bantuan Abu Darda’ untuk menemaninya saat mengkhitbah wanita impiannya. Mendengarnya, Abu Darda’ pun begitu girang. “Subhanallah wa Alhamdulillah,” ujarnya begitu senang mendengar sahabatnya berencana untuk menikah. Ia pun memeluk Salman dan bersedia membantu dan mendukungnya. 

Setelah beberapa hari mempersiapkan segala sesuatu, Salman pun mendatangi rumah sang gadis dengan ditemani Abu Darda’. Keduanya begitu gembira. Setoiba di rumah wanita shalehah tersebut, keduanya pun diterima dengan baik oleh tuan rumah.

“Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman dari Persia. Allah telah memuliakan Salman dengan Islam. Salman juga telah memuliakan Islam dengan jihad dan amalannya. Ia memiliki hubungan dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Rasulullah menganggapnya sebagai ahlu bait (keluarga) nya,” ujar Abu Darda’ menggunakan dialek bahasa Arab setempat dengan sangat lancar dan fasih. 

“Saya datang mewakili saudara saya, Salman, untuk melamar putri anda,” lanjut Abu Darda’ kepada wali si wanita, menjelaskan maksud kedatangan mereka. 

Mendengarnya, si tuan rumah merasa terhormat. Tentu saja, ia kedatangan dua orang sahabat Rasulullah yang utama. Salah satunya bahkan berkeinginan melamar putrinya. “Sebuah kehormatan bagi kami menerima shabat Rasulullah yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan shahabat,” ujar ayah si wanita.

Namun sang ayah tidaklah kemudian segera menerimanya. Seperti yang diajarkan Rasulullah, ia harus bertanya pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Meski yang datang adalah seorang shahabat Rasul, sang ayah tetap meminta persetujuan sang putri.

“Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami,” ujarnya kepada Abu Darda’ dan Salman AL Farisi.

Sang tuan rumah pun kemudian memberikan isyarat kepada istri dan putrinya yang berada dibalik hijab. Rupanya, putrinya telah menanti memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya. Mewakili sang putri, ibunya pun berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang,” ujarnya membuat Salman dan Abu Darda’ tegang menanti jawaban.

“Maaf atas keterusterangan kami. Putri kami menolak lamaran Salman,” jawab ibu si wanita tentu saja akan menghancurkan hati Salman. Namun Salman tegar. 

Tak sampai disitu, sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya, “Namun karena kalian berdua lah yang datang, dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama seperti Salman,” kata ibu si wanita shalihah idaman Salman, wanita yang Salman inginkan untukmenjadi istrinya, wanita yang karenanya ia meminta bantuan Abu Darda’ untuk membantu pinangannya. Namun justru wanita itu memilih Abu Darda’, yang hanya menemani Salman.

Jika seperti pria pada umumnya, maka hati Salman pasti hancur berkeping-keeping. Ia akan merasakan patah hati yang teramat sangat. Namun Salman merupakan pria shaleh, seorang mulia dari kalangan shahabat Rasulullah. Dengan ketegaran hati yang luar biasa, ia justru menjawab, “Allahu akbar!” seru Salman girang.

Tak hanya itu, Salman justru menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya. Tanpa perasaan hati yang hancur, ia memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi si wanita itu. “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan akan kuberikan semua kepada Abu Darda’. Aku juga ajan menjadi saksi pernikahan kalian,” ujar Salman dengan kelapangan hati yang begitu hebat.

Demikian kisah cinta shabat Rasulullah yang mulia, Salman Al Farisi. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut. Ketegaran hati Salman patut dijadikan uswah. Ia pun tak kecewa dengan apa yang belum ia miliki meski ia sangat menginginkannya. Smoga Allah meridhai Salman dan menempatkannya pada surga yang tertinggi.

Kisah Salman al Farisi Mencari Kebenaran

Salman al-Farisi pada awal hidupnya adalah seorang bangsawan dari Persia yang menganut agama Majusi. Namun dia tidak merasa nyaman dengan agamanya. Pergolakan batin itulah yang mendorongnya untuk mencari agama yang dapat menentramkan hatinya.

Kisah Salman diceritakan langsung kepada seorang sahabat dan keluarga dekat Nabi Muhammad bernama Abdullah bin Abbas:

Salman
dilahirkan dengan nama Persia, Rouzbeh, di kota Kazerun, Fars, Iran.
Ayahnya adalah seorang Dihqan (kepala) desa. Dia adalah orang terkaya
di sana dan memiliki rumah terbesar.

Ayahnya menyayangi dia,
melebihi siapa pun. Seiring waktu berlalu, cintanya kepada Salman
semakin kuat dan membuatnya semakin takut kehilangan Salman. Ayahnya
pun menjaga dia di rumah, seperti penjara.

Ayah Salman memiliki
sebuah kebun yang luas, yang menghasilkan pasokan hasil panen
berlimpah. Suatu ketika ayahnya meminta dia mengerjakan sejumlah tugas
di tanahnya. Tugas dari ayahnya itulah yang menjadi awal pencarian
kebenaran.

"Ayahku memiliki areal tanah subur yang luas. Suatu
hari, ketika dia sibuk dengan pekerjaannya, dia menyuruhku untuk pergi
ke tanah itu dan memenuhi beberapa tugas yang dia inginkan. Dalam
perjalanan ke tanah tersebut, saya melewati gereja Nasrani. Saya
mendengarkan suara orang-orang shalat di dalamnya. Saya tidak
mengetahui bagaimana orang-orang di luar hidup, karena ayahku
membatasiku di dalam rumahnya! Maka ketika saya melewati orang-orang
itu (di gereja) dan mendengarkan suara mereka, saya masuk ke dalam
untuk melihat apa yang mereka lakukan."

"Ketika saya melihat
mereka, saya menyukai salat mereka dan menjadi tertarik terhadapnya
(yakni agama). Saya berkata (kepada diriku), 'Sungguh, agama ini lebih
baik daripada agama kami'".

Salman memiliki pemikiran yang
terbuka, bebas dari taklid buta. "Saya tidak meninggalkan mereka sampai
matahari terbenam. Saya tidak pergi ke tanah ayahku."

Dan ketika
pulang, ayahnya bertanya. Salman pun menceritakan bertemu dengan
orang-orang Nasrani dan mengaku tertarik. Ayahnya terkejut dan berkata:
"Anakku, tidak ada kebaikan dalam agama itu. Agamamu dan agama nenek
moyangmu lebih baik."

"Tidak, agama itu lebih baik dari milik kita," tegas Salman.

Ayah Salman pun bersedih dan takut Salman akan meninggalkan agamanya. Jadi dia mengunci Salman di rumah dan merantai kakinya.

Salman
tak kehabisan akan dan mengirimkan sebuah pesan kepada penganut
Nasrani, meminta mereka mengabarkan jika ada kafilah pedagang yang
pergi ke Suriah. Setelah informasi didapat, Salman pun membuka rantai
dan kabur untuk bergabung dengan rombongan kafilah.

Ketika tiba
di Suriah, dia meminta dikenalkan dengan seorang pendeta di gereja. Dia
berkata: "Saya ingin menjadi seorang Nasrani dan memberikan diri saya
untuk melayani, belajar dari anda, dan salat dengan anda."

Sang
pendeta menyetujui dan Salman pun masuk ke dalam gereja. Namun tak lama
kemudian, Salman menemukan kenyataan bahwa sang pendeta adalah seorang
yang korup. Dia memerintahkan para jemaah untuk bersedekah, namun
ternyata hasil sedekah itu ditimbunnya untuk memperkaya diri sendiri.

Ketika
pendeta itu meninggal dunia dan umat Nasrani berkumpul untuk
menguburkannya, Salman mengatakan bahwa pendeta itu korup dan
menunjukkan bukti-bukti timbunan emas dan perak pada tujuh guci yang
dikumpulkan dari sedekah para jemaah.

Setelah pendeta itu wafat, Salman pun pergi untuk mencari orang saleh lainnya, di Mosul, Nisibis, dan tempat lainnya.

Pendeta
yang terakhir berkata kepadanya bahwa telah datang seorang nabi di
tanah Arab, yang memiliki kejujuran, yang tidak memakan sedekah untuk
dirinya sendiri.

Salman pun pergi ke Arab mengikuti para
pedagang dari Bani Kalb, dengan memberikan uang yang dimilikinya. Para
pedagang itu setuju untuk membawa Salman. Namun ketika mereka tiba di
Wadi al-Qura (tempat antara Suriah dan Madinah), para pedagang itu
mengingkari janji dan menjadikan Salman seorang seorang budak, lalu
menjual dia kepada seorang Yahudi.

Singkat cerita, akhirnya
Salman dapat sampai ke Yatsrib (Madinah) dan bertemu dengan rombongan
yang baru hijrah dari Makkah. Salman dibebaskan dengan uang tebusan
yang dikumpulkan oleh Rasulullah SAW dan selanjutnya mendapat bimbingan
langsung dari beliau.

Betapa gembira hatinya, kenyataan yang
diterimanya jauh melebihi apa yang dicita-citakannya, dari sekadar
ingin bertemu dan berguru menjadi anugerah pengakuan sebagai muslimin
di tengah-tengah kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang disatukan sebagai
saudara.

Kisah kepahlawanan Salman yang terkenal adalah karena
idenya membuat parit dalam upaya melindungi kota Madinah dalam Perang
Khandaq. Ketika itu Madinah akan diserang pasukan Quraisy yang mendapat
dukungan dari suku-suku Arab lainnya yang berjumlah 10.000 personel.
Pemimpin pasukan itu adalah Abu Sufyan. Ancaman juga datang dari dalam
Madinah, di mana penganut Yahudi dari Bani Quradhzah akan mengacau dari
dalam kota.

Rasulullah SAW pun meminta masukan dari
sahabat-sahabatnya bagaimana strategi menghadapi mereka. Setelah
bermusyawarah akhirnya saran Salman Al Farisi atau yang biasa dipanggil
Abu Abdillah diterima. Strategi Salman memang belum pernah dikenal oleh
bangsa Arab pada waktu itu. Namun atas ketajaman pertimbangan
Rasulullah SAW, saran tersebut diterima.

Atas saran Salman itulah perang dengan jumlah pasukan yang tak seimbang dimenangkan kaum Muslimin.

Setelah meninggalnya Nabi Muhammad, Salman dikirim untuk menjadi gubernur di daerah kelahirannya, hingga dia wafat.



Proses Mencari kebenaran

Kebenaran (bana) adalah sesuatu yang kita cari dan kita dambakan dalam hidup. Dalam proses mencari kebenaran banyak hambatan dan rintangan yang kita temui dalam perjalanan hidup, agar perjalanan hidup tidak tersesat atau salah arah, sehingga kita dapat dengan selamat mencapai tujuan, cita-cita yang ingin kita capai dalam hidup yaitu bana (kebenaran). Adat sebagai pedoman dan pegangan hidup memberikan pedoman / pegangan dalam proses mencari kebenaran. Proses mencari kebenaran ini, biasa juga disebut dengan metode berfikir Minangkabau. Adapun proses / metode berfikir Minangkabau tersebut adalah pikia palito hati, nanang hulu bicaro, aniang saribu aka, dek saba bana mandatang.

1. Pikia Palito Hati

Manusia hidup pada hakikatnya adalah mencari kebenaran, agar kehidupannya bisa selamat sampai ketujuan yang dicita-citakan. Dalam rangka mencari kebenaran tersebut manusia harus mempergunakan pikirannya sebagai alat (instrument) yang diberikan Allah. Sebelum mengerjakan suatu pekerjaan harus dipikirkan terlebih dahulu segala sesuatu dengan matang tentang baik buruknya,suatu perbuatan kalau tidak akan berakhir dengan kesia-siaan. Dengan kata lain ia tidak akan selamat sampai ketujuannya, bahkan bisa makin jauh tersesaat dari tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, kalau segala sesuatu tidak dipikirnya matang-matang. Demikian besarnya fungsi pikirkan bagi manusia, sehingga manusia tersebut disebut juga makhluk berfikir yang membedakannya dengan binatang atau hewan.
Pikiran itu merupakan palito (pelita, penerang) hati yang akan menuntun seseorang untuk menemukan kebenaran dalam hidup. Itulah arti dari kata adat “pikia palito hati”.

2. Nanang Hulu Bicaro

Setelah segala sesuatu dipikirkan dengan sebaik-baiknya (secara matang) dengan mempertimbangkan (merenungkan) segala baik dan buruk serta mudarat dan manfaatnya sebelum dikomunikasikan harus direnungkan terlebih dahulu sehingga kebenaran yang akan kita sampaikan dapat diterima orang. Proses tersebut disebut dalam adat, “Nanang Hulu bicaro". Tentang hal ini adat menyatakan :

Mangango mangko mangecek
Maju salangkah madok suruik
Bakato sapatah dipikiri
Mulutmu harimaumu
Kok pandai bakato-kato
Ibarat santan jo tangguli
Kok tak pandai bakato-kato
Bak alu pancukia duri.

3. Aniang Saribu Aka

Setelah sesuatu masalah dipikirkan dan direnungkan tentu baik dan buruknya, mudarat dan manfaatnya baru kemudian dikomunikasikan, dibicarakan. Jangan terburu nafsu dan emosional dan mengambil keputusan sesuatu tetapi sampaikan kebenaran tersebut dengan cara dan taktik serta strategi yang benar (saribu aka), sehingga kebenaran itu dapat diterima oleh semua orang. Proses ini di sebut dengan “aniang saribu aka”.

4. Dek Saba Bana Mandatang

Suatu kebenaran yang kita cari jika telah melalui tahap-tahap diatas, menurut ketentuan adat akan menemukan kebenaran yang dapat diterima dengan baik oleh orang banyak. Karena kebenaran tersebut telah dipikirkan dan dipertimbangkan secara matang serta dipikirkan dengan pikiran dan hati yang tenang, tanpa didorong oleh nafsu dan emosional (sabar). Akhirnya dengan proses dan usaha yang maximal serta diiringi dengan kesabaran kesabaran maka, kebenaran yang kita cari akan kita capai atau datang dengan sendirinya. Jadi keempat tahapan ini adalah merupakan suatu proses yang berkaitan satu sama lain sebagai satu kesatuan dalam mencari kebenaran menurut adat Minangkabau .

Mencari Kebenaran !

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati, semuanimagesya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (17:36)

Kebanyakan orang tidak pernah menggunakan daya pikirnya, sekali pun untuk merenungkan dan mempertanyakan keberadaan dirinya sendiri. Siapa aku sebenarnya? Sebenarnya kenapa aku hidup? Apa tujuan hidup sebenarnya? Dan bagaimana aku hidup yang benar? Pertanyaan-pertanyaan itu cukup “sederhana”. Karena “sederhananya” orang menjadi lupa dan sering kelihatan tolol dan lucu tatkala membicarakannya. Dan kadang kita merasa malu untuk menjawabnya. Sebab, ternyata persoalan yang muncul dari pertanyaan “sederhana” itu lebih dalam dan rumit daripada jawaban yang diharapkan. Jawaban rumit tersebut berlaku juga untuk pertanyaan, Sudahkah aku memeluk agama yang benar? Sebenarnya agama mana yang benar itu? Apakah semua agama itu sama?


Bingung, tentu itu pikiran yang terlintas di dalam otak dan hati kita. Sebab, kita tidak terbiasa dengan pertanyaan dan persoalan yang demikian. Padahal jawaban atas pertanyaan itu adalah hakekat hidup kita. Maaf, kebanyakan manusia perjalanan hidupnya seperti layaknya seekor binatang, yaitu mereka hidup sepertinya hanya untuk lahir, bekerja mencari makan, kawin, beranak dan mati. Sepertinya mereka tidak pernah memikirkan arti hidup. Artinya, mereka belum mengarahkan daya pikirnya untuk mencari kebenaran.

Tentu kita semua tidak ingin seperti demikian. Kita sesungguhnya telah diciptakan menjadi manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (sempurna) oleh Tuhan dan kita kemudian tidak ingin dikembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (QS. 95:4-5) Allah juga berfirman: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahanam itu), kebanyakan dan jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih rendah lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raaf 179)

Kembali kepada perumpamaan binatang. Contohnya ayam, ia hidup hanya sekedar untuk lahir, makan, kawin, beranak dan mati. Apakah kita manusia ingin hanya sekedar untuk itu. Lalu apa gunanya kita diberi daya pikir (akal) dan hati. Seekor binatang wajar ia hidup seperti itu sebab ia tidak berakal dan berhati. Tetapi manusia, ia akan lebih rendah dari binatang tatkala ia tidak mempergunakan daya pikir (akal) dan hatinya untuk mengenal, memahami dan melaksanakan hakekat hidupnya.
Selanjutnya, dimanakah kebenaran hakekat hidup itu? Melalui jalan apa? Melalui agama apa? Apakah semua agama itu sama dan benar

APAKAH SEMUA AGAMA ITU SAMA?

Hans Kung seorang teolog Katolik, dalam Theology for the Third Millennium, 230-237. Bdk. Hans Kung, “Towards an Ecumenical Theology of Religions: Some These for Clarifcation” dalam Conciliun 183 (1986), 119s dalam Dialog: Cara Baru Beragama, St, Sunardi, mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan melontarkan empat (4) kemungkinan kebenarannya. Kung menunjuk empat kemungkinan pendirian itu terhadap keanekaragaman agama-agama dunia.

Pertama, tak ada satu agama pun yang benar (atau Semua agama sama-sama tidak benar); kedua, hanya ada satu agama yang benar (atau Semua agama lainnya tidak benar); ketiga, hanya ada satu agama yang benar dalam arti semua agama lainnya mengambil bagian dalam kebenaran agama yang satu itu, dan keempat, setiap agama adalah benar (atau Semua agama “sama-sama” benar).

Pendirian pertama (Tak ada satu agama pun yang benar), yang bercorak ateistik (tidak percaya adanya Tuhan), tentu saja tidak pernah terjadi di antara orang-orang yang beragama. Pendirian ini dianut oleh mereka yang memandang agama sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Feuerbach menunjuk esensi agama terletak pada manusia; agama merupakan proyeksi manusia yang sama sekali bersifat jasmani (ateisme antropologis); Marx menyebutnya sebagai ideologi kaum borjuis (pengusaha), agama itu candu bagi masyarakat (ateisme sosio-politis); Freud menyebutnya sebagai sesuatu yang tidak riil, fungsinya bertentangan dengan cara hidup yang wajar dan manusiawi. Kalau orang mau hidup secara benar-benar manusiawi, orang harus menyingkirkan agama dari setiap cara mereka berfikir, berperilaku dan bertindak. Posisi yang paling radikal diajukan oleh F. Nietzsche yang mengaku telah “membunuh Tuhan”. Demikianlah dia menyatakan “Tuhan sudah mati” (nihilisme) dan mengusulkan kembali mengevaluasi seluruh nilai. Dalam teologinya, Kung selalu memperhitungkan posisi ini sebagai fungsi kritis yang tak bisa diabaikan begitu saja oleh agama. Gema kritik mereka akan selalu relevan sepanjang sejarah, walaupun perspektifnya berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jamannya.

Kedua adalah pendirian absolutis yang menyatakan bahwa hanya ada satu agama yang benar, sedangkan agama-agama lainnya tidak benar atau palsu. Ini berarti bahwa agama-agama lainnya tidak menjamin keselamatan para pemeluknya. Oleh karena itu, semua pemeluk agama lain harus “dibaiat atau ditobatkan” ke satu-satunya agama yang benar itu. Dalam sejarah Gereja pendirian semacam itu pernah dianut seperti tampak dalam ungkapan: Extra ecclessiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Berhadapan dengan Islam, misalnya, Gereja tidak mengakuinya sebagai agama. Muhammad Rasulullah tidak hanya tidak diakui sebagai utusan Allah, tetapi bahkan dicap sebagai utusan Setan. (Gullio Basetti-Sani, Koran in the Ligh of Chritianity, 1977, hal. 11) Sikap seperti ini telah memberikan corak suram dalam sejarah hubungan antar agama Kristen dan Islam yang pada dasarnya bersumber pada satu tradisi iman Ibrahim.

Pendapat ketiga yang berpendirian bahwa hanya ada satu agama yang benar dalam arti semua agama lainnya mengambil bagian dalam kebenaran agama yang satu itu sering disebut pendirian inklusifisme. Pendirian ini lebih toleran. Toleransi ini didukung oleh suatu pandangan teologis bahwa keselamatan tidak hanya menjadi monopoli satu agama, Islam misalnya, sebagai satu-satunya agama yang benar. Tetapi keselamatan juga dapat terjadi di dalam agama lain. Keselamatan tidak butuh pernyataan eksplisit ungkapan iman kepada agama tertentu. Namun, keselamatan dapat terjadi tanpa adanya hubungan yang eksplisit dan hubungan yang disadari dengan agama tertentu. Iman yang seperti ini sering disebut Iman Anonim. Jelasnya, orang yang beragama di luar Kristen berhak memperoleh keselamatan sejauh mereka berbuat baik dan hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan, sebab karya Tuhan pun ada pada mereka, walaupun mereka belum mendapat kabar baik agama Kristen misalnya.

Hans Kung menganggap bahwa pendirian inklusif ini masih mengandung kesombongan yang tersembunyi atau sikap merasa diri super atas agama-agama lain. Kung menawarkan pendirian lain yang bisa menjadi dasar yang, di satu pihak, tidak meremehkan agama lain dan di lain pihak, tidak menghianati agamanya sendiri? Pendiriannya itu ia sebut kritis-ekumenis. Menurutnya kita harus memandang kedudukan agama-agama dari dua arah: dari dalam dan dari luar. Benarkah hanya ada satu agama yang benar dalam arti agama-agama lainnya mengambil bagian dalam kebenaran agama yang satu itu (inklusifisme)? Dari luar: Diakui adanya bermacam-macam agama yang benar. Inilah dimensi relative dari suatu agama. Agama-agama ini mempunyai satu tujuan, yaitu keselamatan (dengan konsep keselamatan yang berbeda-beda. Lewat perbedaannya ini, agama-agama bisa memperkaya satu sama lain. Dari dalam: Diakui adanya satu agama yang benar. Inilah dimensi mutlak dari suatu agama. Bagi Kung, seorang pemeluk agama Kristen, satu agama ini adalah Kristianisme. Kebenaran ini ada “sejauh Kristianisme mengakui akan satu Allah yang benar sebagaimana diwahyukanNya dalam diri Yesus Kristus”. Pendirian ini tidak harus menolak kebenaran agama-agama lain, walaupun benar sampai tingkat tertentu. Sejauh tidak bertentangan dengan pesan agama Kristen, agama-agama lain dapat “melengkapi, mengoreksi dan memperdalam agama Kristen”.
Apapun pandangan Hans Kung tersebut intinya dia masih bisa disebut mempunyai pendirian inklusifisme atau lebih tepatnya neoinklusifisme. Pandangan Kung ini sebenamya hendak menuju pendirian Pluralisme, namun masih ragu-ragu.

Pendirian Pluralisme adalah pendirian yang keempat, pendirian ini berpendapat dan percaya bahwa setiap agama atau semua agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri-sendiri. Dia menolak inklusifisme. Namun, bagi sebagian besar agama-agama berpendapat bahwa Pluralisme adalah tidak relevan dan Absurd (tidak mungkin). Paham Pluralisme ini percaya bahwa semua agama adalah sama, tetapi bukan seperti paham Deisme yang sudah tidak mementingkan lagi agama-agama formal walaupun la berpendirian bahwa agama-agama semuanya sama. Pluralisme menganggap semua agama adalah penting dan sah.

Orang-orang (sering disebut aliran Deisme) melihat agama sebagai sesuatu yang kurang penting karena mereka beranggapan bahwa agama-agama formal (organized religions) semisal Yahudi, Nasrani dan Islam sebagai tidak memiliki masa depan. Yang bertahan bagi mereka adalah pesan-pesannya yang universal semisal kemaha-Esa-an Tuhan (Unitarianisme) dan kebenaran Universal (Universalisme), namun ritus-ritus formal dan label yang membungkusnya dircmehkan dan ditinggalkan, sehingga mereka tidak merasa perlu mengikatkan diri kepada salah satu agama dan mempermasalahkan kesalahan dan kebenarannya masing-masing.

JALAN LURUS DENGAN KALIMATUN SAWA’
(titik temu agama-agama)

Setelah melihat uraian di atas lalu, bagaimana pandangan Islam? Pandangan Islam sepertinya lebih “mendekati” pendirian inklusifisme, kritis-ekumenis dan sekaligus Pluralis.

Budi Munawar Rachman dalam artikelnya yang berjudul Filsafat Perennial dan Masalah Klaim Kebenaran berpendapat; Salah satu kesadaran yang sangat berakar dalam pandangan seorang Muslim: Agama Islam adalah sebuah agama universal untuk sekalian umat manusia. Landasan prinsip-prinsip tersebut adalah Tunggal, meskipun ada berbagai manifestasi lahiriahnya yang beraneka ragam. Ini juga yang telah menghasilkan pandangan antropologis bahwa pada mulanya umat manusia adalah Tunggal, karena berpegang kepada Kebenaran Tunggal (Tuhan). Tapi kemudian manusia berselisih paham, justru setelah penjelasan tentang Kebenaran itu datang, dan mereka berusaha memahami Kebenaran itu, setaraf dengan kemampuan atau sesuai dengan keterbatasan mereka. Sehingga di sinilah mulai terjadi perbedaan penafsiran terhadap kebenaran Yang Tunggal itu.

Perbedaan itu itu kemudian dipertajam oleh kepentingan pribadi dan kelompok (vested interest). Kesatuan asal umat manusia itu dilukiskan Alqur’an, “…adalah manusia itu melainkan semvia merupakan umat yangtunggal, kemudian mereka berselisih.” (QS.10:19)
Pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa, atau Tauhid. Tugas para rasul adalah menyampaikan ajaran tentang Tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk patuh hanya kepada-Nya saja (Islam).Dan, justru berdasarkan paham ketauhidan inilah, Alqur’an mengajarkan paham kemajemukan keagamaan (religious plurality). “Tidak ada paksaan untuk beragama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa ingkar kepada Thaghut (syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah), dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amatkuat yang tidak akan putus.”(QS. 2:256)

Dalam pandangan teologi Islam, sikap ini dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada: Bahwa semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama. Karena alasan inilah Alqur’an mengajak kepada “titik pertemuan” atau dalam istilah Alqur’annya adalah: kalimatun Sawa’. “Katakanlah olehmu (Muhammad): wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimah sawa’} antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak memeperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan ” selain Allah. “(QS. 3:64)

Implikasi dari kalimah sawa’ ini adalah: siapa pun dapat memperoleh “keselamatan” asalkan dia beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat baik. Pandangan ini akan mendorong umat Islam secara normatif untuk menghargai kemajemukan keagamaan lewat sikap-sikap toleransi, dan keterbukaan seperti dicerminkan dalam konsep tentang siapa yang digolongkan sebagai Ahli Kitab.

Demikianlah, Islam berpandangan mengenai Kebenaran haluan hidup, yaitu manusia hendaknya menuju jalan yang lurus itu dengan (minimal) beriman kepada Allah dan berbuat baik, sebagai titik pertemuan adanya keberagaman jalan hidup (agama). Berkenaan dengan hal tersebut daya pikir kita pasti membenarkan logika itu.

Selebihnya dalam mencenderungkan hati kita kepada Kebenaran, daya pikir memberitahukan bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah contoh tauladan kita. Dalam mengarungi hidupnya sehari-hari Rasulullah mempunyai pedoman dan prinsip-prinsip pribadi yang patut ditiru.

Pedoman dan prinsip-prinsip haluan hidup Rasulullah adalah seperti apa yang ada di dalam hadits ini:

“Ma’rifat (pengetahuan) adalah modalku, akal pikiran adalah sumber agamaku, cinta adalah dasar hidupku, rindu adalah kendaraanku, berdzikir adalah kawan dekatku, keteguhan adalah perbendaharaanku, duka adalah kawanku, limn adalah senjataku, ketabahan adalah pakaianku, kerelaan adalah sasaranku, faqr (kesederhanaan) adalah kebanggaanku, menahan diri adalah pekerjaanku, keyakinan adalah makananku, kejujuran adalah perantaraku, ketaatan adalah ukuranku, berjihad adalah perangaikii dan hiburanku adalah sholat.” (Al Hadits)

 
Copyright 2010 Info Dunia. All rights reserved.
Themes by Ex Templates Blogger Templates l Home Recordings l Studio Rekaman